Polemik Pembangunan Dilan Corner, Antara Lebay dan Politis!
“Jadi boleh-boleh saja, tapi seharusnya sebagai pejabat publik bisa memilih film yang mengandung pesan-pesan monumental. Sekarang saya tanya hubungan film Dilan dengan Jabar apa?”
BaskomNews.com – Pembangunan Dilan Corner yang digagas Gubernur Jabar Ridwan Kamil menuai polemik di masyarakat. Sebagian pihak menilai pembuatan ‘monumen’ itu lebay, sebagian lagi menyebut ada kepentingan politik di balik itu semua.
Minggu (24/2/2019), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Menteri Pariwisata Arief Yahya dan para pemain film Dilan 1991 secara simbolis melakukan peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan Dilan Corner, di area Gor Saparua.
Emil sapaan Ridwan Kamil beralasan pembangunan Dilan Corner sebagai bentuk apresiasi terhadap keberhasilan film karya anak bangsa. Selain itu dia juga berharap Dilan Corner bisa menjadi tempat belajar sastra baik menulis dan membaca bagi siapapun.
“Sebuah tempat ajang literasi jadi film Dilan, sastra novel, terwujud jadi film. Jadi dua dimensi ini muncul masa depan yang sudut ini bisa untuk membaca novel sastra, dunia komunikasi atau menulis. Tempatnya bisa nongkrong, sejarah film Dilan lebih keren artistik,” ucapnya, Minggu (24/2/2019).
Namun nampaknya keputusan Emil membuatkan ‘monumen’ untuk sebuah film mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Mulai dari pakar komunikasi politik, pengamat hukum tata negara hingga para budayawan mengkritik keputusan Emil tersebut.
Pasalnya mereka tidak melihat korelasi antara film Dilan dengan konteks Jawa Barat. Tanpa bermaksud merendahkan kualitas film Dilan 1991, mereka menilai masih banyak tokoh lain yang lebih layak dibuatkan ‘monumen’ ketimbang tokoh fiktif seperti Dilan.
“Jadi boleh-boleh saja, tapi seharusnya sebagai pejabat publik bisa memilih film yang mengandung pesan-pesan monumental. Sekarang saya tanya hubungan film Dilan dengan Jabar apa? Sebutlah produk literasi, tapi menurut saya tidak sedikit novel jadi film. Jadi menurut saya itu alasan yang mengada-ada,” kata pakar komunikasi politik UPI Karim Suryadi, Selasa (26/2/2019).
Pengamat hukum tata negara Unpar Asep Warlan juga tidak menemukan pesan apa yang ingin coba disampaikan Ridwan Kamil melalui pembangunan Dilan Corner. Sehingga dia menilai pembuatan ‘monumen’ itu terlalu berlebihan.
“Bagi saya agak aneh kenapa mesti Dilan. Padahal ada tokoh-tokoh lain, tokoh sejarah, tokoh olah raga itu kan banyak, tidak sekedar tokoh fiktif,” katanya, Selasa (26/2).
Sementara itu, Anggota Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya justru menganggap ada kepentingan politik di balik pembuatan Dilan Corner. Menurutnya, Emil sedang mencoba mencari simpati generasi milenial dalam upaya pemenangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Pasalnya, untuk di ketahui Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil merupakan dewan pengarah Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf untuk wilayah Jawa Barat. Hal itu yang menjadi dasar penilaian Abdul Hadi mengaitkan Dilan Corner untuk menarik simpati di Pilpres 2019.
“Teman-teman politisi (membacanya) pasti Pak Gubernur sedang mencoba meraih simpati dan mengkampanyekan (pasangan 01) kepada generasi muda. Ini sangat mudah dibaca ke sana,” ucapnya.
Hadi mengingatkan Ridwan Kamil agar lebih fokus dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai gubernur. Jangan sampai dia melupakan tugas utamanya sebagai pejabat publik karena mengutamakan kepentingan pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jabar.
“Sekarang banyak pertanyaan, kenapa gubernur sekarang (seperti ini). Okelah kampanye punya hak tapi supaya lebih memprioritaskan posisi sebagai gubernur. Di sini anggota dewan juga banyak omongan dan sangat menyayangkannya,” katanya.
Sementara itu, budayawan Kota Bandung Hawe Setiawan juga tidak melihat adanya urgensi dalam pembangunan Dilan Corner. Pembangunan ‘monumen’ itu hanya sebagai media sebagai promosi untuk film Dilan 1991.
“Saya sendiri sebagai warga Jabar tidak melihat ada ugensi dengan pembuatan taman atau pojok Dilan di Kota Bandung itu. Saya hanya melihat kemarin kegiatan publik berupa pawai, tidak lebih dari euforia kolektif saja. Ini semua marketing industri pertunjukan. Tida ada urgensinya dengan nilai simbolik bagi Jawa Barat,” ucapnya.
Dia tidak ingin terlalu meributkan keputusan Emil sapaan akrab Ridwan Kamil membuat Dilan Corner apabila posisinya bukan sebagai pejabat publik. Namun karena dia hadir sebagai gubernur harusnya bisa lebih mempertimbangkan kebijakan yang dipilih.
“Emil (Ridwan Kamil) ikut main dalam film itu ikut merayakan euforia itu satu hal (berbeda). Tapi bahwa dia dalam kedudukan sebagai Gubernur Jabar kebijakan di ruang publik itu hal lain yang harus mempertimbangkan hal lain juga,” katanya.
Hawe juga memandang, pembangunan Dilan Corner sebagai cara Emil untuk menjaga hubungan baik dengan generasi milenial. Terutama untuk kepentingan politiknya di masa depan.
“Saya sih paham kenapa Emil senang sekali dengan euforia seperti itu. Karena dia butuh memelihara pencitraan pemilih milenial untuk kepentingan politik di kemudian hari. Tapi jangan lupa sebagai pejabat publik harusnya kebijakan publik tidak terlalu menitikberatkan kalangan milenial,” ucapnya.
Dia menyarankan agar Emil menjelaskan secara jelas kepada publik terkait pembuatan Dilan Corner tersebut. Polemik ini menurutnya tidak perlu direspon terlalu reaktif oleh orang nomor satu di Jabar itu.
“Paling tidak harus ada penjelasan untuk menjawab keberatan dari sebagian besar orang. Enggak perlu juga Emil jadi sewot (dengan adanya kritikan), ya namanya juga pejabat publik,” ujarnya.
Ketua Majelis Sastra Bandung Matdon mempertanyakan alasan momentum yang disebut Emil karena film Dilan laku. “Emil berpatokan pada suksesnya film tersebut, padahal film yang laris di pasaran belum tentu bagus, banyak film yang bagus dan baik tapi tidak laku di pasaran,” tegasnya.
Ia berharap Emil bisa mengikuti jejak wali kota sebelumnya yaitu Dada Rosada, di mana pernah membatalkan kebijakannya karena menuai polemik di tengah masyarakat. “Saya teringat walikota Dada Rosa saat memberikan nama Stadion Sepakbola dengan nama Stadion Dada Rosada, kemudian ketika dipersoalkan oleh rakyatnya, ia mendengar dan menggantikannya dengan GOR Bandung Lautan Api,” katanya.
Kini, kata dia, sudah saatnya Emil mendengarkan aspirasi warga dan tidak bertindak seenaknya sendiri. “Tidak mawa karep sorangan, musyarwarah dengan orang orang yang berkompeten jika ingin membuat sesuatu. Orang yang gagah adalah orang yang mampu menahan birahi kekuasaan. Mau gagah? Batalkan pembanguan Taman Dilan!,” tegasnya.(Dtk/red)