KEKEBALAN HUKUM PIMPINAN KPK
LEGAL OPINI BASKOMNEWS.COM
BASKOMNEWS – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar kembali disorot karena melanggar kode etik insan KPK lantaran diduga menerima gratifikasi dari salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat menonton ajang MotoGP Mandalika yang digelar pertengahan Maret 2022 yang lalu.
Sebelumnya Sederet dugaan pelanggaran etik pernah menyeret namanya, Lili bahkan pernah dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar kode etik pimpinan KPK.
Dalam pantauan Baskomnews.com, pada tahun 2020, Lili Pintauli Siregar pernah tersandung kasus yaitu melakukan Intervensi penyidikan terhadap salah satu peserta Pilkada 2020 di Labuhan batu Utara, namun kasusnya dianulir oleh Dewan Pengawas KPK. Setelah itu masih ditahun 2020, Lili berulah lagi dengan menyalahgunakan wewenang untuk penyelesaian kepentingan pribadi dan mendapat sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK berupa pemotongan gaji pokok 40 % selama satu tahun, masih dalam tahun 2020, Lili kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK dengan tuduhan melakukan komunikasi dengan tersangka kasus suap tanjung balai, namun tidak ada sanksi apapun dari Dewan Pengawas KPK, tidak jelas juga apakah Dewan Pengawas sudah bosan melakukan pemeriksaan kepada Lili Pintauli Siregar atau Dewan Pengawas KPK ingin menyerahkan saja kepada Penegak Hukum untuk melakukan tindakan hukum kepada Lili Pintauli Siregar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tidak cukup sampai di situ, pada tahun 2021, Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena diduga melakukan penyebaran berita bohong dalam Konprensi Pers, dan lagi lagi, Lili Pintauli Siregar tidak mendapatkan sanksi.
Seakan sudah menjadi habit, pada tahun 2022, Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Lili dianggap melanggar kode etik insan KPK lantaran diduga menerima GRATIFIKASI dari salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), saat menonton ajang MotoGP Mandalika yang digelar pertengahan Maret 2022 kemarin.
Apakah para pimpinan penegak hukum yang menerima Gratifikasi memiliki kekebalan hukum di Negeri ini khususnya dalam konteks tindak pidana korupsi.
Awak media Baskomnews.com dalam wawancara eklusif dengan seseorang yang tidak bersedia disebut namanya memberikan penjelasan bahwa untuk memahami masalah tersebut perlu dipahami dengan baik dan benar UUD 1945, UU Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP serta batasan pengertian antara Pelanggaran Kode Etik dan Gratifikasi sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dan menangani masalah yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar yang terkait dengan menerima sesuatu yang diberikan oleh Perusahaan BUMN.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut UUD 1945 telah mengatur dangan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan sebagai negara hukum, setiap orang mempunyai perlakuan yang sama dihadapan hukum. Meskipun demikian, masih ada undang-undang yang mengecualikan hal tersebut, meskipun disadari atau tidak, hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pengecualian yang dimaksud dikenal sebagai Hak Imunitas Hukum, akan tetapi Hak Imunitas Hukum tersebut tidak berlaku bagi kalangan aparat penegak hukum, termasuk pimpinan pimpinan penegak hukum.
Istilah Gratifikasi sering muncul dalam kasus korupsi ataupun suap, biasanya Gratifikasi dikaitkan dengan pemberian Cuma-Cuma. Secara umum Gratifikasi bisa diartikan sebagai pemberian dalam berbagai bentuk yang berkaitan dengan pekerjaan, jabatan atau tugas. Gratifikasi ada yang diperbolehkan dan yang dilarang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), Gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperbolehkan. Pengertian serupa juga ditulis dalam situs Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laman tersebut, yang dimaksud dengan Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya. Sedangkan pengertian Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B selengkapnya mengatur bahwa:
Setiap Gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya, dengan ketentuan sebagai berikut:
yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa Gratifikasi bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima Gratifikasi;
yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa Gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pidana bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000, (satu milyar rupiah).
Perlu dipahami pula bahwa Gratifikasi tidak termasuk dalam pengertian delik aduan, sehingga proses hukum penanganan Gratifikasi tidak diperlukan adanya pengaduan dari masyarakat dan sesuai dengan asas hukum pidana, setiap orang yang mengetahui terjadinya suatu peristiwa pidana, wajib untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang, tetapi karena Gratifikasi tidak termasuk sebagai Delik Aduan, maka penegak hukum berkewajiban untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana Gratifikasi.
Menyimak pengertian Gratifikasi sebagaimana telah diuaraikan di atas, dihubungakan dengan dugaan perbuatan Lili Pintauli Siregar yang diduga menerima berbagai macam FASILITAS yang diberikan oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menonton ajang MotoGP Mandalika yang digelar pada pertengahan Maret 2022 lalu di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tentunya perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dan penanganannya tidak perlu menunggu adanya laporan dari masyarakat karena perbuatan Gratifikasi bukan delik aduan sehingga para Aparat Penegak Hukum yang dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan atau KPK bisa langsung melakukan Penyelidikan terhadap Lili Pantauli Siregar yang diduga telah melakukan tindak pidana Korupsi.
Sekiranya pihak Pimpinan KPK enggan melakukan pemeriksaan penyelidikan terhadap perbuatan Lili Pintauli Siregar karena merasa teman sejawat, maka pihak Kepolisian maupun Kejaksaan harus berani melakukan tindakan hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Lili Pintauli Siregar dan hal tersebut tidak perlu ragu untuk dilakukan karena tidak ada hak imunitas/kekebalan hukum bagi Pimpinan KPK yang diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Proses pemeriksaan terhadap Lili Pintauli Siregar tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan dari Dewan Pengawas KPK karena Gratifikasi termasuk sebagai Tindak Pidana Korupsi dan bukan delik aduan.
Akhir kata, kalau KPK bisa melakukan penyidikan terhadap aparat penegak hukum dari Kepolisian atau Kejaksaan, kenapa Aparat Kepolisian atau Kejaksaan tidak berani melakukan pemeriksaan penyelidikan dalam perkara Korupsi terhadap Lili Pintauli Siregar yang diguga melakukan perbuatan Gratifikasi.
Berdasarkan hasil wawancara Baskomnews.com tersebut di atas, tergambar bahwa perlu adanya keberanian dari pihak penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap Lili Pintauli Siregar dalam upaya menegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk pimpinan KPK yang harus menjadi panutan dalam upaya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, malah sebaliknya menjadi pelaku Gratifikasi sehingga perlu segera melakukan tindakan hukum terhadap Lili Pintauli Siregar.