Jawa Barat Riskan Praktik Korupsi

0

ilustrasi

banner 468x60

“Kalau dilihat dari data tersebut, potensinya masih rawan. Makanya, masyarakat termasuk wartawan, harus lebih giat mengawasi kalau ada penyimpangan di wilayahnya,”

BaskomNews.com – KPK menilai ancaman praktik korupsi terhitung masih tinggi di lingkungan pemerintah daerah wilayah Jawa Barat. Sejak 2004 hingga Februari 2019, sebanyak 16 kepala daerah di Jawa Barat suah terjerat kasus korupsi.

Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) KPK wilayah Jawa Barat, Tri Budi Rochmanto berkaca dari penanganan kasus korupsi di Jawa Barat, celah korupsi mayoritas terjadi di bidang perizinan, jual beli jabatan, perencanaan APBD, dan pengadaan barang dan jasa.

banner 336x280

“Kalau dilihat dari data tersebut, potensinya masih rawan. Makanya, masyarakat termasuk wartawan, harus lebih giat mengawasi kalau ada penyimpangan di wilayahnya,” ujar Tri Budi saat melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi program pencegahan korupsi terintegrasi di Graha Paseban Sri Bima, Balai Kota Bogor, Jumat (8/9/2019).

Dalam melakukan pencegahan praktik korupsi, komisi antirasuah melakukan pengawasan menggunakan sistem aplikasi Pusat Pemantauan Pencegahan atau Monitoring Centre of Prevention (MCP).

Dalam sistem tersebut, ada delapan fokus area yang dinilai KPK yakni perencanaan penganggaran APBD, perizinan terpadu satu pintu, pengadaan barang jasa, kapabilitas Aparat Pengawasan Internal Pemerintah, optimalisasi pendapatan asli daerah, manajemen aparatur sipil negara, manajemen barang milik daerah, serta tata kelola dana desa.

Sayangnya, hingga kini tidak ada satu kota dan kabupaten di Jawa Barat yang memenuhi target nilai indikator dalam sistem MCP. Dari target 75 persen yang diharapkan KPK, hanya Pemerintah Kabupaten Cirebon yang mampu meraih target penilaian 73 persen. Sementara di Indonesia, nilai MCP terbesar diraih Pemerintah Kabupaten Boyolali, dan Kota Pontianak sebesar 83 persen.

Pemerintah Kota Bogor sendiri bahkan hanya memperoleh nilai indikator 38 persen. Tri menyebutkan, ada beberapa hal nonteknis yang membuat nilai indikator MCP Kota Bogor rendah, salah satunya mengunggah bukti dari 48 indikator yang masuk dalam delapan fokus area tersebut.

“Kalau 38 persen berarti indikator dari 7 fokus area belum terpenuhi. Untuk kota, tata kelola dana desa memang tidak masuk penilaian. Mungkin terkendala non teknis, misalnya sudah dilakukan, tetapi buktinya belum diupload,” kata Tri.

Menurut Tri, nilai tinggi dalam indikator MCP bukan jaminan daerah tersebut bebas korupsi. Tri menyebut, nilai tinggi MCP hanya modal minimal untuk mengurangi potensi korupsi di masing-masing daerah.

“Korupsi itu bisa dari niat, dan kesempatan. Nah MCP ini baru bicara kesempatan yang ditutup, kalau nilai MCP-nya 100, berarti itu awal pencegahan. Kalau niat kita tidak bisa cegah, harus ada komitmen dari pimpinan daerahnya,” ujar Tri.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Bogor Ade Sarip Hidayat tak menampik nilai indikator MCP Kota Bogor masih rendah. Menurut Ade, ada beberapa permasalahan bukti yang belum dapat diunggah, salah satunya bukti kepemilikan aset Kota Bogor.

“Memang enggak bagus, kita perlu melakukan percepatan, terutama dalam sertifikasi aset. Setiap tahunnya kami hanya menargetkan 53 aset untuk disertifikasi, saya minta minggu depan segera diurus, mudah-mudahan minggu depan nilai kita bisa naik,” kata Ade.

Menurut Ade, kehadiran KPK cukup memberi pencerahan bagi Pemerintah Kota Bogor. KPK banyak memberi saran dalam masalah penyelenggaraan perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta optimalisasi pendapatan asli daerah.

“Kita banyak diberi semangat, semisal menyangkut pengadaan barang dan jasa, ya harus dilakukan tepat waktu, kalau target bulan Juni lelang ya tahapan sebelumnya harus dilakukan,” ucap Ade. (PR/red)

banner 336x280