Literasi Media Mencerdaskan Pemilih
Pendidik politik (the political educator), itulah predikat media berita atau pers dalam pemilu. Media berita menjalankan tugas kewarganegaraan (civic duty) melalui pemenuhan hak atas informasi politik pemilih.
Tentunya media berita berkontribusi besar dalam membentuk dan mengembangkan populasi well-informed voters (pemilih terinformasikan dengan baik) yang menjadi prasyarat dalam peningkatkan kualitas partisipasi elektoral.
Dengan demikian, benar apa yang dikemukakan oleh Thomas White (2013) yang menyatakan bahwa media berita mutlak tak dapat disangkal lagi sangat penting bagi demokrasi yang sukses.
Selanjutnya bahkan dalam buku Ethical Journalism in A Populist Age, Stephen J.A. Ward (2019:3) menegaskan bahwa jurnalistik harus menjadi yang paling paham tentang demokrasi (a democratic craft) dan melawan kekuatan-kekuatan tidak demokratis dalam berbagai bentuk.
Jurnalistik harus mendedikasikan pada prinsip-prinsip demokrasi Well-informed voters dan demokrasi elektoral yang matang bisa dikatakan sebagai summum bonum (kebaikan tertinggi dalam praktek professional) yang harus dicapai oleh setiap insan media berita atau jurnalis (Merril dalam Godron et al, (Edts), 2011:4).
Tidak sekedar informasi yang dibutuhkan seperti program-program yang ditawarkan oleh peserta Pemilu, tetapi media berita harus dapat memberikan jawaban atas segala permasalahan atau pertanyaan politik pemilih tentang pemilu dan peserta pemilu.
Dalam pemilu, apakah semua media berita memang demikian? Tentunya, tidak. Ada media berita yang mengalami bias politik (the news media is biased politically).
Dalam industri media, kepemilikan saham media bisa menjadi kekuatan yang dapat mengintervensi kebijakan redaksi media berita. Atau hubungan pemilik saham dengan peserta pemilu atau politisi tertentu juga dapat mencampuri arah kebijakan redaksi. Inilah yang seringkali menjadikan media berita sebagai alat propaganda politik dalam Pemilu untuk kepentingan politik tertentu.
Tidak sampai di sana, bahkan di Pemilu 2014 dan 2019 ada media fiktif. Media berita yang keberadaan kantor redaksinya fiktif. Konten berita dalam media fiktif tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, misalnya tak ada wawancara dengan narasumber, materi berita tidak mencakup dua sisi (cover both sides).
Jika media terbiasi secara politis (politically-biased media) dapat merugikan pemilih, maka media fiktif dapat merusak demokrasi elektoral itu sendiri. Kebebasan pers dirusak oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Dalam buku Media Literacy, selain efek positif, W. James Potter (2015:14) menegaskan bahwa media massa mampu memproduksi efek berbahaya (harmful effects) atas individu dan masyarakat pada umumnya. Tentang hal ini, Potter membenarkan bahwa tulisan-tulisan literasi media juga fokus pada media massa sebagai sesuatu yang berbahaya.
Oleh karena itu, untuk memproteksi pemilih dari dampak negatif dari pemberitaan media terbiasi secara politis dan media fiktif, pemilih berhak mendapatkan literasi media yang menjadi bagian penting dari edukasi politik di era mediatisasi politik seperti saat ini.
Literasi Media
Media terbiasi secara politis dan media fiktif semakin menegaskan bahwa media berita bukanlah ruang hampa kepentingan politik, justru sebaliknya media berita menjadi “senjata” politik elektoral.
Bagi khalayak atau pembaca pasif sudah pasti dampak pemberitaan dari media tersebut sangat besar pengaruhnya (powerful) dalam mempengaruhi keputusan elektoral pemilih. Oleh karena itu, pemilih sebagai khalayak media atau pembaca berita harus cerdas dalam menerima informasi berita.
Dengan literasi media, pemilih diharapkan dapat memiliki sikap kritis terhadap segala berita kepemiluan. Sikap kritis tidak dimaknai sebagai benci terhadap berita tersebut, tetapi mereka dengan cermat dapat menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan materi berita tersebut (White, 2013; Silverblatt, 2014).
Literasi media dapat memberikan perspektif yang lebih jernih (a clearer perspective) dalam melihat batasan diantara dunia politik elektoral nyata dengan dunia termanufaktur atau terkemas oleh media.
Literasi media menorong pemilih mengenali berita etis sesuai kaidah jurnalistik. Oleh karena itu, tujuan literasi media adalah untuk membantu pemilih menjadi berdaya sehingga dapat merubah kendali (control shifting) yang awalnya media mengendalikan sikap dan perilaku politiknya menjadi sebaliknya (Potter, 2015:10 & 29).
Literasi media mampu mentransformasi pemilih menjadi aktif dan cerdas
Dalam literasi media, pengetahuan tentang kaidah/prinsip dan etika jurnalistik merupakan hal yang sifatnya dasar untuk diketahui oleh setiap pemilih. Tentang etika jurnalistik, dari sisi praktis, pemilih dapat mempelajari Kode Etik Jurnalistik yang diterbitkan oleh Dewan Pers.
Literasi media yang baik membuat pemilih dapat memahami tentang jurnalisme etis (ethical journalism) dan dapat dengan mudah mengenali media propaganda dalam pemilu.
Memahami Jurnalisme Etis
Bagi banyak orang menganggap jurnalisme etis bersifat oksimoron (Smith, 2008:4). Ini sebuah tantangan dalam demokrasi di era industrialisasi media dan politik liberalisme. Jurnalisme etis adalah jurnalisme yang sepenuh mengacu pada prinsip-prinsip etika atau kode etik jurnalistik. Media berita yang baik pasti menjalankan jurnalisme etis.
Di Indonesia, untuk memastikan media berita menjalankan jurnalisme etis, Dewan Pers tidak sekedar menerbitkan Kode Etik Jurnalistik, tetapi juga menerbitkan kebijakan sertifikasi kompetensi wartawan dan verifikasi perusahaan media berita. Kebijakan Dewan Pers tersebut patut diapresiasi oleh semua pihak, termasuk pemilih.
Jurnalisme etis melindungi dan memenuhi dengan sebaik-baiknya hak informasi pemilih selama Pemilu. Sebaliknya, dengan pengetahuan jurnalisme etis, pemilih dapat mengenali dan mengkritisi serta bahkan menolak berita bohong (fake news). Jadi jurnalisme etis mencerdaskan dan memberdayakan pemilih.
Dalam buku The Elements of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosensteil (2014:10) mengatakan bahwa tujuan jurnalisme adalah memberikan orang informasi dimana mereka harus bebas (free) dan dapat mengatur dirinya sendiri (self-governing).
Idealnya, pemilih diberikan beragam alternatif informasi faktual atas isu-isu politik. Informasi tersebut sebagai basis pengambilan keputusan elektoral pemilih. Media berita tidak boleh mengarahkan pilihan elektoral pemilih pada kontestan tertentu.
Oleh karena itu, menurut Kovach dan Rosensteil, setidak-tidaknya ada tugas yang harus diketahui oleh pemilih yang harus dijalankan oleh media berita yaitu pertama, kewajiban pertama (first obligation) jurnalistik adalah pada kebenaran.
Framing berita yang berlebihan atau melampaui prinsip etis dapat mengakibatkan pelintiran atau pemutar-balikan fakta (the fact spinning). Pelintiran fakta tersebut membuat khalayak media atau pembaca berita sebagai unwell-informed voters. Jelas, hal ini juga merusak demokrasi elektoral.
Dan kedua, loyalitas pertama (first loyality) jurnalis adalah pada warga negara (to citizens). Melayani hak atas informasi pemilih merupakan hal yang sangat esensial dalam tugas jurnalistik. Jurnalis harus megabdi pada pemilih, bukan pada yang lainnya. Pemilih tercerdaskan adalah orientasi profesi jurnalistik.
Sebaliknya, pemilih sebagai khalayak media atau pembaca berita harus bisa menjadikan media berita terverifikasi oleh Dewan Pers atau media berita lainnya yang memenuhi prinsip-prinsip dalam kode etik jurnalistik sebagai sumber utama informasi politik dan rujukan elektoralnya.
Pemilih cerdas tidak mudah terprovokasi oleh materi berita yang sensasional dan provokatif yang dipublikasikan oleh media berita niretis (unethical news media) atau media fiktif.
Pengetahuan jurnalisme etis yang menjadi bagian penting dari literasi media menjadikan pemilih kritis dalam merespon media berita niretis atau media fiktif yang dijadikan senjata propaganda politik dalam pemilu.
Cerdas bermedia bersifat imperatif bagi setiap pemilih, karena suara pemilih sangat bernilai untuk masa depan bangsa dan negara. Pemilih berdaulat, demokrasi elektoral matang.
Ditulis;
Dr. Idham Holik
Anggota KPU Jawa Barat