Kota Pensiunan itu, Kini Menjelma jadi Kota Wisata dan Kebudayaan di Jabar (1)

0
banner 468x60

Hanya dalam 10 tahun, bisa merubah dirinya hingga begitu cantik, berkarakter tanpa meninggalkan jejak sejarah dan budaya masyarakatnya

BaskomNews.com – Sebutan Kota Pensiunan, nampaknya mulai pudar. Kabupaten yang mempunyai luas wilayah 971,72 km² atau sekitar 2,81% dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat ini, kini sudah menjelma menjadi kota seksi yang mengundang minat wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Ya, Purwakarta. Kabupaten yang berada pada titik-temu tiga koridor utama lalu-lintas strategis, yakni Jakarta-Bandung-Cirebon ini, hanya dalam 10 tahun, bisa merubah dirinya hingga begitu cantik, berkarakter tanpa meninggalkan jejak sejarah dan budaya masyarakatnya.

banner 336x280

Dan dalam waktu 10 tahun itu juga, kabupaten ini menjadi salah satu kota wisata pavorit di Jabar, sekaligus kota budaya, sejarah dan religius. Hingga mendapatkan sebutan baru, yakni Kabupaten Istimewa.

Air Mancur Taman Sri Baduga

Luar biasa! Tentunya, perubahan ini tidak begitu saja dengan mudah dilakukan. Perlu kerja keras dan kecerdasan juga keberanian berinovasi dari pemimpinnya. Dan 10 tahun, bukan waktu yang panjang untuk merubah suatu daerah.

Dulu, mendengar kata Purwakarta, masyarakat di luar Jabar akan bertanya-tanya, dimanakah itu? Tapi sekarang, tanpa bertanyapun masyarakat luas di Nusantara sudah sangat faham. Purwakarta sudah terkenal, terlebih setelah memiliki Taman Air Mancur Sri Baduga, di kawasan Situ Buleud.

Kota Sejarah. Meski sudah menjelma menjadi kota yang “ramai”, Purwakarta tak menghilangkan jejak dan bukti sejarahnya. Malah sebaliknya, jejak dan bukti sejarah itu dipelihara bahkan makin ditonjolkan. Lihat saja, Gedung Kembar, Pendopo Pemkab, Masjid Agung, Alun-alun, dan beberapa gedung lainnya.

Pendopo Purwakarta, dulu dan sekarang

Bicara sejarah, Kabupaten Purwakarta tak bisa dipisahkan dari kelahiran negeri ini. Kabupaten ini dikenal sebagai tempat kelahiran beberapa negarawan dan pemimpin besar asal Jawa Barat di masa awal pendirian Republik Indonesia.

Diantaranya adalah pahlawan nasional Kusumah Atmaja (Ketua pertama Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan Ipik Gandamana(Bupati pertama Kabupaten Bogor, Gubernur Jawa Barat, dan Menteri Dalam Negeri).

Keberadaan Purwakarta tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan pasukan VOC. Sekitar awal abad ke-17,  Sultan Mataram mengirimkan pasukan tentara yang dipimpin oleh Bupati Surabaya ke Jawa Barat. Salah satu tujuannya adalah untuk menundukkan Sultan Banten. Tetapi dalam perjalanannya bentrok dengan pasukan VOC sehingga terpaksa mengundurkan diri.

Setelah itu dikirimkan kembali ekspedisi kedua dari Pasukan Mataram di bawah pimpinan Dipati Ukur serta mengalami nasib yang sama pula.

Untuk menghambat perluasan wilayah kekuasaan kompeni (VOC), Sultan Mataram mengutus Penembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan.

Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa (Sunda : “Karawaan”).

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (bupati) di Karawang pada tahun 1656.

Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Raden Adipati Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug.

Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putera Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I (1679 dan 1721), ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara.

Masjid Agung Purwakarta, dulu dan sekarang

Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekitar tahun 1811-1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia Belanda dari Pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Inggris.

Antara tahun 1819-1826 Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur Jendral Van Der Capellen.

Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur sungai Citarum/Cibeet dan sebelah Barat sungai Cipunagara.

Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung.

Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibukota kabupaten di Wanayasa.

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.

Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Karesidenan, Pendopo, Masjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing. Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya. Bersambung (bayu sid)

banner 336x280