ICW: 2017, Dana APBD Banyak Dikorupsi Kepala Daerah!
BaskomNews.com – Tahun 2017, banyak dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dikorupsi oleh kepala daerah. Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2017, 30 orang kepala daerah yang terdiri dari 1 gubernur, 24 bupati/wakil bupati dan 5 wali kota/wakil wali kota telah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka terlibat dalam 29 korupsi dengan kerugian negara Rp 231 miliar dan nilai suap Rp 41 miliar.
ICW, memang melakukan penelitian terkait tren penindakan kasus korupsi di tahun 2017 oleh KPK, Kejaksaan, dan Polri. Hasilnya, ICW menemukan kalau dana APBD paling banyak dikorupsi oleh kepala daerah.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri dalam keterangannya yang diterima, Selasa (20/2/2018), menyebutkan, korupsi kepala daerah ini terutama terkait dengan penyalahgunaan APBD, perizinan, infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, pengelolaan aset daerah dan lainnya. Dari keseluruhan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut, 11 kasus ditangani oleh KPK, 9 kasus oleh Kejaksaan dan 8 kasus oleh kepolisian.
Sepanjang 2017, papar dia, ada 576 kasus korupsi yang ditangani dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Jumlah tersangka mencapai 1.298 orang.
Dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan terutama dalam aspek kerugian negara. Pada tahun 2016, kerugian negara dalam 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun dan naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017 ini.
“Hal ini disebabkan karena adanya kasus dengan kerugian negara yang besar yang ditangani oleh KPK. Contohnya korupsi KTP elektronik. Selain itu, dua aparat penegak hukum lainnya juga menindak korupsi besar, kepolisian contohnya dengan kasus TPPI dan Kejaksaan,” jelasnya.
Tidak hanya soal kerugian negara, Febri juga menyebut aspek tersangka juga mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus korupsi dan naik menjadi 1.298 tersangka kasus korupsi.
“Kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi juga ikut andil berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tersangka. Tahun sebelumnya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 21 orang. Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi sebanyak 30 orang,” ucap dia.
“Modus korupsi paling banyak digunakan dalam kasus korupsi tahun 2017 adalah penyalahgunaan anggaran yang mencapai 154 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun,” imbuh dia.
Febri mengatakan modus korupsi terbanyak selanjutnya ialah penggelembungan harga (mark up) dan pungutan liar dengan masing-masing sebanyak 77 kasus dan 71 kasus. Sementara, modus terkait dengan suap dan gratifikasi sebanyak 44 kasus dengan total nilai suap mencapai Rp 211 kasus.
Berdasarkan sektor, lanjut Febri, anggaran desa merupakan sektor paling banyak korupsi dengan total 98 kasus dengan kerugian negara RP 39,3 miliar. Selanjutnya, sektor pemerintahan dan penndidikan menempati sektor kedua dan ketiga terbanyak dengan jumlah kasus dan kerugian negara berturut-turut adalah sebesar 55 dan 53 kasus serta kerugian negara Rp 255 miliar dan Rp 81,8 miliar.
“Lembaga terbanyak tempat terjadi korupsi adalah pemerintah kabupaten dengan kasus sebanyak 222 dengan kerugian negara Rp 1,17 triliun. Tempat kedua adalah pemerintah desa sebanyak 106 kasus denga kerugian negara Rp 33,6 miliar. Dan ketiga adalah pemerintah kota dengan jumlah kasus 45 dengan kerugian negara Rp 159 miliar,” imbuhnya.
Febri menjelaskan mengapa banyak sekali kasus korupsi penyalahgunaan APBD. Menurutnya, itu terkait dengan pesta demokrasi.
“Banyaknya kasus korupsi kepala daerah yang terkait dengan penyalahgunaan APBD diduga terkait dengan kontestasi pemilu serentak yang akan dihelat pada tahun 2018,” tuturnya.
Berdasarkan penelitian tersebut, ICW mengeluarkan rekomendasi. Ada dua rekomendasi yang disampaikan Febri.
“Perlu adanya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam memantau APBD. Hal ini penting untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah terutama menjelang tahun politik,” katanya.
“Kepala daerah yang akan mencalonkan kembali perlu untuk menekan biaya kampanye agar meminimalisir konflik kepentingan dengan menerima uang dari beberapa pihak yang memiliki kepentingan,” tutup Febri. (SiD)