Meski Batal Mogok, Puluhan Sopir Angkot Tetap Demo Gedung Sate
BaskomNews.com – Kabar akan adanya aksi mogok massal ribuan sopir angkutan kota (angkot) di Bandung Raya, Selasa (8/5/2018) tak terbukti. Meski batal mogok, puluhan sopir angkot tetap menggelar unjuk rasa menuntut penerapan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017.
Unjuk rasa digelar di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung. Tidak hanya sopir angkot, unjuk rasa juga diikuti sejumlah sopir taksi konvensional. Tak ayal, kawasan Gedung Sate dipenuhi puluhan angkot yang didominasi trayek Kebon Kalapa-Soreang dan sejumlah taksi konvensional.
Dalam aksi unjuk rasa yang dikawal ketat aparat kepolisian itu, mereka menuntut pemerintah bersikap tegas dalam penerapan aturan angkutan sewa khusus tidak dalam trayek (taksi online). Mereka pun menuntut pemerintah menindak tegas para pelaku usaha taksi online yang melanggar aturan.
Ketua Harian Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jabar Anton Ahmad Fauzi menjelaskan, unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk protes para sopir angkot karena pemerintah tak kunjung menerapkan Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 tentang Angkutan Sewa Khusus Tidak Dalam Trayek.
“Kami mendesak pemerintah segera menerapkan aturan tersebut. Meski sudah setahun diterbitkan, namun sampai sekarang belum ada penerapannya,” sesal Anton.
Menurutnya, penerapan aturan tersebut sangat penting. Sebab, sejak angkutan online marak di Bandung Raya, pendapatan sopir angkot kini anjlok hingga 60 persen. Bahkan, kondisi pendapatan sopir angkot di wilayah perkotaan lebih parah.
“Awalnya setiap sopir bisa mengantongi pendapatan bersih Rp80.000 per hari. Tapi kini, pendapatan mereka turun drastis,” ungkapnya.
Anton mengatakan, sejak Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 diterbitkan, masih banyak para pelaku usaha taksi online yang melanggar aturan, salah satunya terkait kuota taksi online. Dia menyebutkan, pemerintah telah menetapkan kuota taksi online sekitar 7.700 unit. Namun, kata Asep, kenyataan di lapangan jumlahnya lebih dari 20.000 unit.
“Akhirnya, mereka (taksi online) juga sama-sama susah karena kuota juga sudah overload, mereka juga saling ‘bantai’ di online,” katanya.
Anton menambahkan, para sopir angkot memang batal melakukan mogok massal karena takut ancaman dari para pengurusnya. Padahal, kata Anton, sebagian besar pengurus bukan berprofesi sebagai sopir angkot, sehingga tidak mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan.
“Pengurus tidak tahu penderitaan para sopir karena mereka sudah digaji oleh anggota,” bebernya.
Salah seorang sopir angkot jurusan Kebon Kalapa-Soreang, Nano (48), mengakui, sejak taksi online marak beroperasi, pendapatannya menyusut. Tak jarang dia terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.
“Dulu mah sehari bisa dapat Rp150.000 sampai Rp200.000. Sekarang parah, paling gede juga Rp70.000,” sebutnya.
Seusai menyampaikan tuntutannya, perwakilan WAAT melakukan audiensi dengan pihak Pemprov Jabar yang diwakili Sekretaris Dinas Perhubungan (Dishub) Jabar Andreas Wijanto di Gedung Sate.
Menurut Andreas, selain penegakan Permenhub 108 Tahun 2017, para sopir angkot itu juga menuntut dipertemukan dengan pihak Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Terakhir, mereka juga menuntut penangguhan retribusi sementara di terminal. Ini akan kita usulkan kepada dewan dan pemkot/pemkab masing-masing yang akan kita tandatangani sebagai kesepakatan,” katanya.
Disinggung soal penegakan Permenhub Nomor 108 Tahun 2017, Andreas mengklaim, pihaknya telah melakukan penegakan aturan tersebut. Dia menyebutkan, dari total kuota taksi online sekitar 7.700 unit, sekitar 18-19 persennya sudah berbadan hukum atau 1.400 unit taksi online dari 30 badan hukum.
“Bagi yang melanggar, tahap awal kita berikan peringatan. Kita juga akan coba tindakan lebih tegas dengan pihak kepolisian, kita akan diskusikan langkah selanjutnya,” tandasnya.(Sindo/red)