SEPETAK vs Sekda, Konflik Agraria di Medalsari

0

Sekda Acep Jamhuri-Ketua SEPETAK Wahyudin.

banner 468x60

BaskomNews.com – Setelah mendapatkan tanggapan langsung dari Sekda Karawang, H. Acep Jamhuri yang menyikapi surat resmi Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK) yang rencananya akan melakukan aksi demonstrasi sampai ke kediaman Sekda, Ketua Umum SEPETAK, Wahyudin juga angkat bicara.

Dengan gamblang Wahyudin menjelaskan, munculnya rencana SEPETAK akan melakukan aksi ke BPN dan rumah Sekda bukan tanpa alasan. Merujuk pada giat audiensi SEPETAK dengan Sekda pada tanggal 10 Agustus 2020, Sekda ‘menjanjikan’ akan menyelesaikan masalah konflik agraria bersama BPN melalui mekanisme pendaptaran PTSL dan/atau Redis untuk tahun anggaran 2021.

banner 336x280

Menurut Wahyudin, pada kesempatan itu Sekda menyampaikan akan segera menggelar rapat dengan BPN dan dalam waktu 1 minggu akan memberikan informasi  kepada SEPETAK mengenai hasil rapat dengan BPN tersebut, sebagai progres dari langkah yang ditempuh pemerintah daerah. Nyatanya, sampai saat ini Sekda maupun melalui jajarannya tidak pernah menyampaikan apa yang dijanjikannya kepada SEPETAK.

“Sebelum memberikan tanggapan atas pernyataan Sekda, pertama-tama saya sampaikan alur pemikiran secara fundamental mengenai hak atas tanah bagi kaum tani pada prinsip-prinsip reforma agraria. Perjuangan para petani di Desa Mulyasejati dan Medalsari untuk bebas dari cengkraman Perhutani sudah berlangsung lama sejak 2009,” tutur Wahyudin, melalui rilis yang dikirim ke BaskomNews.com, Selasa (24/11/2020).

Dijelaskannya, perjalanan panjang perjuangan petani ini banyak mencatat kejahatan Perhutani, baik berupa intimidasi, pemerasan sampai kriminalisasi seperti nasib seorang petani Medalsari yang harus mendekam di penjara selama 4 bulan atas tuduhan pencurian kayu pada 2011 silam. Perjuangan petani bersama SEPETAK dalam mewujudkan reforma agraria telah direduksi oleh pernyataan Sekda yang terbatas pada pandangan konflik tanah. Hal ini bisa ditelaah dari pernyataan-pernyataan pembelaan diri Sekda yang sama sekali tidak menyebutkan akses reform sebagai bagian tak terpisah dengan legalisasi asset.

Pertama, Atas peran pemerintah dalam upaya menuntaskan konflik agraria antara petani dengan kehutanan, Sekda menyampaikan penjelasan bahwa Kehutanan menolak permohonan SEPETAK tanpa menyertakan alasan penolakan. Sedangkan dalam tiga kali putaran audiensi, Perhutani tidak dapat menunjukkan seluruh bukti sah kelola atas kawasan hutan tersebut. Sementara petani di dua desa memiliki bukti-bukti petunjuk penguasaan atas tanah milik adat.

“Belum lagi, lokasi obyek konflik dalam Tata Ruang ditunjuk sebagai hutan, tapi pemda sendiri melakukan pemungutan pajak PBB atas objek tanah yang tidak diperbolehkan terhadap tanah kawasan hutan. Kedua, perihal Sekda telah membantu SEPETAK terkait sertipikasi tanah di Tanjungpakis. Dalam hal sebagai pejabat pemerintah, Sekda tentu terikat dalam tata laksana pemerintahan sebagaimana Undang-undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat, serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terang Wahyudin.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sambung Wahyudin, warga masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Adapun yang berkaitan dengan hak dasar kemanusiaan di atas tertuang dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) Pasal 28H ayat (4). Sementara hak atas tanah diatur oleh UUPA No.5 tahun 1960. Disamping itu terdapat rujukan teknis mengenai legalisasi asset dengan mengacu pada Inpres No.2 tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

“Jadi keliru bila seorang Sekda sebagai pejabat pemerintah dalam kewajibannya mengatakan membantu masyarakat,” sindir Wahyudin.

Ketiga, pernyataan sekda mengenai sodara Engkos (Sekjen SEPETAK) yang menawarkan tanah kepada sebuah perusahaan dan meminta panjer/DP merupakan tuduhan tak berdasar yang mengandung resiko hukum. Sebab sodara Engkos tidak melakukan hal seperti apa yang dituduhkan Sekda. Sementara Sekda dalam pernyatannya tidak menunjukkan bukti-buktinya. “Terkait tuduhan ini Sepetak sedang mempersiapkan upaya hukum,” katanya.

Keempat, pernyataan Sekda perihal SEPETAK tidak santun saat melakukan audiensi, sebagai pejabat penting pemerintah daerah setingkat Sekda seharusnya lebih memahami dan mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang membela anak buahnya yang dalam giat audiensi tidak punya solusi yang ditawarkan. Pernyataan Sekda ini ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Sebab justru Sekda sendiri-lah pada saat memimpin audiensi terbiasa dengan gaya bahasa kasar.

Bahkan pada suatu ketika kunjungan ke Medalsari, dalam dialognya Sekd sempat menanyakan kepada salah seorang pengurus SEPETAK Desa Medalsari, “SEPETAK dibayar berapa oleh para petani?”. Hal itu tentunya sangat menyinggung dan melecehkan SEPETAK.

Kelima, benar bahwa SEPETAK meminta audiensi kepada Sekda melalui surat dengan nomor 020/Eks-sepetak/VIII/2020 atas ketidakpuasan SEPETAK dengan hasil audiensi sebelumnya yang dipimpin Asda I. Pernyataan mengenai “bahasa surat melecehkan dan menghina asisten” adalah tidak benar. Sebab pernyataan Sekda itu tidak menyertakan pendapat hukum yang menyatakan surat SEPETAK tersebut mengandung unsur pelecahan dan penghinaan.

“Dengan demikian, dalam merespon rencana aksi SEPETAK, Sekda tidak memposisikan diri sebagai pejabat pemerintah yang semestinya hadir dalam situasi konflik dengan semangat mewujudkan reforma agrarian sejati. Sedangkan rencana aksi unjuk rasa bagi SEPETAK bukan menjadi sesuatu yang absolut, selama ada kemauan pemerintah merealisasikan janji yang sempat diingkarinya dengan cara membangun komunikasi dengan SEPETAK dalam rangka merumuskan resolusi konflik,” papar Wahyudin.

Mengenai, informasi yang diperoleh SEPETAK bahwa terhadap tanah yang saat ini diperjuangkan petani Mulyasejati diduga sedang diplot untuk bandara dan selebihnya diduga diberikan izinnya kepada empat perusahaan developer, SEPETAK sendiri sedang menyelidiki kemungkinan-kemungkinan adanya keterlibatan permainan pejabat pemerintah kabupaten Karawang. (rls)

banner 336x280